Doa adalah Ibadah (01)
Setangkup
Doa Itu Tidak Akan Pernah Sia-Sia
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah,
sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa orang yang mendirikan shalat
atau bersedekah, dia akan mendapatkan pahala atas shalat atau sedekahnya.
Demikian pula orang yang berdoa kepada Allah Ta’ala. Setiap kali seseorang
mengangkat kedua tangannya ke langit sambil mengatakan,”Wahai Rabb-ku, Wahai
Rabb-ku” dan bersungguh-sungguh dalam doanya, maka Allah Ta’ala akan memberikan
pahala atas doanya tersebut, baik doanya tersebut dikabulkan atau ditunda
pengabulannya oleh Allah Ta’ala. Hal ini karena doa termasuk ibadah,
sebagaimana shalat atau puasa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
”Doa
adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi no. 2969. Dinilai shahih oleh
Syaikh Al-Albani) [1]
Berdoalah
dengan Menyebut Nama Allah
Di antara salah satu keutamaan tauhid asma’ wa shifat
adalah bahwasannya seseorang tidaklah mungkin menyembah Allah Ta’ala dengan
sempurna sampai dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala sehingga
dia menyembah Allah Ta’ala atas dasar ilmu. Demikian pula dalam masalah doa.
Allah Ta’ala berfirman,
”Hanya
milik Allah-lah nama-nama yang husna. Maka berdoalah dengan menyebut nama-nama
yang husna itu.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)
Berdasarkan ayat tersebut, maka termasuk kesempurnaan
dalam berdoa adalah seseorang menjadikan perantaraan (ber-“tawassul”) dalam
doanya dengan menyebutkan nama-nama Allah Ta’ala yang sesuai dengan isi
permintaannya. Jika kita ingin meminta rizki, maka kita ber-tawassul dengan
nama Allah “Ar-Rozzaaq” (Yang Maha pemberi rizki). Jika kita meminta ampun
kepada Allah, maka kita ber-tawassul dengan nama Allah “Al Ghofuur” (Yang Maha
mengampuni). Inilah salah satu bentuk tawassul dalam berdoa yang disyariatkan.
Bahkan inilah yang telah dicontohkan oleh para Rasul ketika mereka berdoa
kepada Allah Ta’ala.
Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah Ta’ala,
”Maka
ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Dan Engkaulah Pemberi ampun yang
sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf [7]: 155)
Demikian pula Nabi Isa ‘alaihis salam, beliau berdoa
kepada Allah Ta’ala,
”Berilah
kami rizki, dan Engkaulah Pemberi rizki yang paling utama.”
(QS. Al Maidah [5] : 114) [2]
Kesyirikan
dalam Masalah Doa
Di antara kesyirikan dalam doa yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam adalah berdoa kepada mayit dengan sesuatu yang tidak dapat
disanggupi oleh selain Allah. Misalnya berdoa kepada Rasulullah, atau kepada
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Wali Songo, dan orang-orang shalih lainnya.
Sehingga kita lihat bersama di Indonesia ini, makam orang-orang shalih selalu
penuh sesak dipadati orang-orang yang ingin agar permintaannya dikabulkan.
Padahal telah jelas bahwa barangsiapa yang menyeru/berdoa
kepada orang yang telah mati, dengan berkata,”Wahai Sayyidku, tolonglah,
bantulah, hilangkanlah kesusahanku, …” dan selainnya, maka dia telah terjatuh
ke dalam dosa syirik dan harus segera bertaubat kepada Allah Ta’ala. Allah
Ta’ala berfirman,
”Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru selain Allah, (yaitu)
yang tidak dapat mengabulkan (doa)nya sampai hari kiamat. Bahkan sesembahan itu
tidak tahu-menahu tentang doa mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada
hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan
mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 5-6)
[3]
“Kami Itu Meminta kepada Allah, Sedangkan Mereka itu
Hanya Perantara Saja”
Kalau kita sampaikan penjelasan di atas kepada
orang-orang yang berdoa kepada para Wali atau orang-orang shalih lainnya, di
antara mereka pasti ada yang menyangkalnya dengan mengatakan,”Kami tidak
menyekutukan Allah, bahkan kami bersaksi bahwa tidak ada yang menciptakan,
memberi rizki, mendatangkan manfaat, dan menolak mudharat selain Allah semata.
Dan sesungguhnya Muhammad tidak dapat mendatangkan manfaat atau menolak
mudharat, lebih-lebih Syaikh Abdul Qadir Jailani atau yang lainnya. Akan
tetapi, kami adalah orang-orang yang banyak berbuat dosa, sedangkan mereka
adalah orang-orang shalih yang memiliki kedudukan di sisi Allah. Sehingga kami
pun meminta (berdoa) kepada Allah melalui perantaraan mereka.” [4]
Maka kita jelaskan kepada mereka, bahwa orang-orang
musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui hal
itu. Allah Ta’ala berfirman,
”Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik),’Siapakah yang telah
menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab,’Allah.’”
(QS. Luqman [31]: 25)
Demikian pula, orang-orang musyrik juga mengetahui bahwa
orang-orang shalih sesembahan mereka tidak dapat mendatangkan manfaat atau
menolak mudharat. Akan tetapi, yang mereka lakukan “hanyalah” berdoa kepada
Allah dengan perantaraan orang-orang shalih tersebut. Allah Ta’ala telah
menceritakan hal tersebut dalam firman-Nya,
”Dan
mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan
kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka (orang-orang musyrik)
berkata,’Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.’”
(QS. Yunus [10]: 18)
Inilah alasan orang-orang musyrik dahulu ketika mereka
berdoa kepada para Nabi dan orang-orang shalih yang menjadi sesembahan mereka.
Mereka tidak mengatakan bahwa sesembahan mereka itu adalah sekutu (tandingan)
bagi Allah Ta’ala. Akan tetapi, yang mereka katakan adalah bahwa sesembahan
mereka itu adalah hamba-hamba Allah yang menjadi perantara doa (ibadah) mereka
kepada Allah Ta’ala. Mereka tidak mau mengakui bahwa perbuatan mereka itu
adalah syirik. Kata mereka, perbuatan mereka itu adalah sekedar “tawassul” atau
meminta syafa’at kepada orang-orang shalih, bukan syirik.
Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menerima alasan mereka itu. Karena syirik tetaplah syirik, meskipun diberi nama
tawassul atau istisyfa’ (meminta syafa’at). Rasulullah pun tetap memerangi
mereka, menghalalkan darah dan harta mereka. Hal itu agar doa semuanya hanya
untuk Allah Ta’ala semata. Sehingga apabila orang-orang yang berdoa kepada para
wali pada zaman sekarang ini memang benar-benar menginginkan hidayah dan
kebenaran, maka tentu mereka akan menerima penjelasan ini dengan lapang dada.
[5]
Catatan
kaki:
[1] Lihat Fiqhu Ad-Du’a hal. 11, karya Syaikh Musthafa Al
’Adawi hafidzahullah.
[2] Lihat Fiqhu Ad-Du’a hal. 27-28; Syarh Qowa’idul
Mutsla hal. 20-23, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
[3] Lihat Fiqhu Ad-Du’a, hal. 13.
[4] Lihat Kasyfu Syubuhaat, karya Syaikh Muhammad
At-Tamimy rahimahullah.
[5] Lihat At-Taudhiihat Al-Kaasyifat hal. 165-169, karya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Hubdan; Syarh Masaail Jahiliyyah hal. 15, karya
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah.
[Bersambung]
Baca selengkapnya
https://muslim.or.id/29861-doa-adalah-ibadah-01.html
0 Komentar