Setangkup Doa Itu Tidak Akan Pernah Sia-Sia

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa orang yang mendirikan shalat atau bersedekah, dia akan mendapatkan pahala atas shalat atau sedekahnya. Demikian pula orang yang berdoa kepada Allah Ta’ala. Setiap kali seseorang mengangkat kedua tangannya ke langit sambil mengatakan,”Wahai Rabb-ku, Wahai Rabb-ku” dan bersungguh-sungguh dalam doanya, maka Allah Ta’ala akan memberikan pahala atas doanya tersebut, baik doanya tersebut dikabulkan atau ditunda pengabulannya oleh Allah Ta’ala. Hal ini karena doa termasuk ibadah, sebagaimana shalat atau puasa. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

”Doa adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi no. 2969. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani) [1]

Berdoalah dengan Menyebut Nama Allah

Di antara salah satu keutamaan tauhid asma’ wa shifat adalah bahwasannya seseorang tidaklah mungkin menyembah Allah Ta’ala dengan sempurna sampai dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala sehingga dia menyembah Allah Ta’ala atas dasar ilmu. Demikian pula dalam masalah doa. Allah Ta’ala berfirman,

”Hanya milik Allah-lah nama-nama yang husna. Maka berdoalah dengan menyebut nama-nama yang husna itu.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)

Berdasarkan ayat tersebut, maka termasuk kesempurnaan dalam berdoa adalah seseorang menjadikan perantaraan (ber-“tawassul”) dalam doanya dengan menyebutkan nama-nama Allah Ta’ala yang sesuai dengan isi permintaannya. Jika kita ingin meminta rizki, maka kita ber-tawassul dengan nama Allah “Ar-Rozzaaq” (Yang Maha pemberi rizki). Jika kita meminta ampun kepada Allah, maka kita ber-tawassul dengan nama Allah “Al Ghofuur” (Yang Maha mengampuni). Inilah salah satu bentuk tawassul dalam berdoa yang disyariatkan. Bahkan inilah yang telah dicontohkan oleh para Rasul ketika mereka berdoa kepada Allah Ta’ala.

Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah Ta’ala,

”Maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat. Dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-A’raf [7]: 155)

Demikian pula Nabi Isa ‘alaihis salam, beliau berdoa kepada Allah Ta’ala,

”Berilah kami rizki, dan Engkaulah Pemberi rizki yang paling utama.” (QS. Al Maidah [5] : 114) [2]

Kesyirikan dalam Masalah Doa

Di antara kesyirikan dalam doa yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam adalah berdoa kepada mayit dengan sesuatu yang tidak dapat disanggupi oleh selain Allah. Misalnya berdoa kepada Rasulullah, atau kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani, Wali Songo, dan orang-orang shalih lainnya. Sehingga kita lihat bersama di Indonesia ini, makam orang-orang shalih selalu penuh sesak dipadati orang-orang yang ingin agar permintaannya dikabulkan.

Padahal telah jelas bahwa barangsiapa yang menyeru/berdoa kepada orang yang telah mati, dengan berkata,”Wahai Sayyidku, tolonglah, bantulah, hilangkanlah kesusahanku, …” dan selainnya, maka dia telah terjatuh ke dalam dosa syirik dan harus segera bertaubat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

”Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru selain Allah, (yaitu) yang tidak dapat mengabulkan (doa)nya sampai hari kiamat. Bahkan sesembahan itu tidak tahu-menahu tentang doa mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat), niscaya sesembahan-sesembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” (QS. Al Ahqaf [46] : 5-6) [3]

“Kami Itu Meminta kepada Allah, Sedangkan Mereka itu Hanya Perantara Saja”

Kalau kita sampaikan penjelasan di atas kepada orang-orang yang berdoa kepada para Wali atau orang-orang shalih lainnya, di antara mereka pasti ada yang menyangkalnya dengan mengatakan,”Kami tidak menyekutukan Allah, bahkan kami bersaksi bahwa tidak ada yang menciptakan, memberi rizki, mendatangkan manfaat, dan menolak mudharat selain Allah semata. Dan sesungguhnya Muhammad tidak dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, lebih-lebih Syaikh Abdul Qadir Jailani atau yang lainnya. Akan tetapi, kami adalah orang-orang yang banyak berbuat dosa, sedangkan mereka adalah orang-orang shalih yang memiliki kedudukan di sisi Allah. Sehingga kami pun meminta (berdoa) kepada Allah melalui perantaraan mereka.” [4]

Maka kita jelaskan kepada mereka, bahwa orang-orang musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui hal itu. Allah Ta’ala berfirman,

”Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik),’Siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab,’Allah.’” (QS. Luqman [31]: 25)

Demikian pula, orang-orang musyrik juga mengetahui bahwa orang-orang shalih sesembahan mereka tidak dapat mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Akan tetapi, yang mereka lakukan “hanyalah” berdoa kepada Allah dengan perantaraan orang-orang shalih tersebut. Allah Ta’ala telah menceritakan hal tersebut dalam firman-Nya,

”Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan. Dan mereka (orang-orang musyrik) berkata,’Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus [10]: 18)

Inilah alasan orang-orang musyrik dahulu ketika mereka berdoa kepada para Nabi dan orang-orang shalih yang menjadi sesembahan mereka. Mereka tidak mengatakan bahwa sesembahan mereka itu adalah sekutu (tandingan) bagi Allah Ta’ala. Akan tetapi, yang mereka katakan adalah bahwa sesembahan mereka itu adalah hamba-hamba Allah yang menjadi perantara doa (ibadah) mereka kepada Allah Ta’ala. Mereka tidak mau mengakui bahwa perbuatan mereka itu adalah syirik. Kata mereka, perbuatan mereka itu adalah sekedar “tawassul” atau meminta syafa’at kepada orang-orang shalih, bukan syirik.

Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima alasan mereka itu. Karena syirik tetaplah syirik, meskipun diberi nama tawassul atau istisyfa’ (meminta syafa’at). Rasulullah pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan harta mereka. Hal itu agar doa semuanya hanya untuk Allah Ta’ala semata. Sehingga apabila orang-orang yang berdoa kepada para wali pada zaman sekarang ini memang benar-benar menginginkan hidayah dan kebenaran, maka tentu mereka akan menerima penjelasan ini dengan lapang dada. [5]

Catatan kaki:

[1] Lihat Fiqhu Ad-Du’a hal. 11, karya Syaikh Musthafa Al ’Adawi hafidzahullah.
[2] Lihat Fiqhu Ad-Du’a hal. 27-28; Syarh Qowa’idul Mutsla hal. 20-23, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
[3] Lihat Fiqhu Ad-Du’a, hal. 13.
[4] Lihat Kasyfu Syubuhaat, karya Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah.

[5] Lihat At-Taudhiihat Al-Kaasyifat hal. 165-169, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Hubdan; Syarh Masaail Jahiliyyah hal. 15, karya Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah.

[Bersambung]
Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29861-doa-adalah-ibadah-01.html

0 Komentar